Salam dari Bolsel
Arpin Buhungo
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha
Kuasa, atas Ridho dan Rahmat serta BarokahNya penulis dapat menyeleseikan
makalah yang berjudul “Desain Kurikulum”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Manajemen Kurikulum dan Program Pembelajaran. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu memberikan dukungan baik moral maupun spiritual sehingga makalah
ini dapat terseleseikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat berharap adanya kritik
dan saran untuk pengembangan penulisan selanjutnya. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Demikian makalah ini
penulis susun. Apabila ada kesalahan dalam penulis membuat makalah ini, penulis
mohon maaf.
Gorontalo, Februari 2017
Penulis Kelompok
VIII
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Desain Kurikulum .............................................................. 3
B. Prinsip-Prinsip Kurikulum.................................................................... 3
C. Bentuk-Bentuk Kurikulum .................................................................. 4
D. Desain Kurikulum Disiplin Ilmu .......................................................... 16
E. Desain Kurikulum Berorientasi pada
Masyarakat ............................... 17
F. Desain kurikulum Berorientasi Pada Siswa ......................................... 18
G. Desain Kurikulum Teknologis ............................................................. 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimulan ............................................................................................ 21
B. Saran .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia dengan potensi akal yang
dimiliki adalah pembeda yang jelas dengan makhluk yang lain di muka bumi ini,
kemampuan ini memberikan arah bagi manusia untuk melakukan sesuatu secara
sempurna. Perkembangan manusia akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan
pendidikan yang terarah (formal), walau bisa mendapat pengetahuan tanpa
pendidikan seseorang akan tetap mengalami perkembangan tetapi tidak maksimal
pada target yang akan dicapai. Dalam proses belajar dan pembelajaran pada
umumnya materi pembelajaran diupayakan berorientasi pada head, heart dan hand,
yaitu berkaitan dengan pengetahuan, sikap/nilai dan keterampilan. Namun masih
diperlukan faktor kesehatan (healt) sehingga akan dimiliki empat H, yaitu:
pertama, Head kedua, Hand, ketiga Heart, keempat Helth.
Dengan kerangka pemikiran
tersebut, maka perlu diperhatikan yaitu ketika ide-ide pengembangan kurikulum
terlembagakan dalam sebuah dokumen kurikulum yang pada akhirnya harus
diimplementasikan, maka guru disini akan menjadi ujung tombak keberhasilan
implementasi kurikulum. Oleh karena itu perhatian hendaknya diletakkan pada
desain kurikulum dalam proses pembelajaran, adalah satu hal yang perlu
ditanggapi secara serius. Dengan demikian desain kurikulum yang akan datang
harus mempertimbangkan hal sebagai berikut; pertama adanya kesesuaian antara
kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi alamnya, kedua pengembangan
kurikulum disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga
kurikulum harus berisikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan
disesuaikan dengan budaya nasional dan budaya daerah masing-masing, keempat kurikulum
harus mampu mengantisipasi perubahan sosial dalam masyarakat. Dan yang
terakhir, kelima bahwa kurikulum harus memuat nilai-nilai agama yang sesuai
dengan peserta didik, sehingga terwujud generasi yang memiliki kapabelitas
Iptek dan Imtaq yang paripurna.
B. Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan apa itu desain kurikulum
2.
Menjelaskan prinsip-prinsip desain kurikulum
3.
Menjelaskan bentuk-bentuk desain kurikulum
4.
Menjelaskan Desain Kurikulum Disiplin Ilmu
5.
Menjelaskan Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
6.
Menjelaskan
Desain kurikulum Berorientasi Pada Siswa
7.
Menjelaskan Desain Kurikulum Teknologis
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu desain kurikulum
2.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip desain kurikulum
3.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk desain kurikulum
4.
Untuk mengetahui Desain Kurikulum Disiplin Ilmu
5.
Untuk mengetahui Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
6.
Untuk mengetahui Desain kurikulum Berorientasi Pada Siswa
7.
Untuk mengetahui Desain Kurikulum Teknologis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Desain Kurikulum
Menurut Oemar Hamalik (1993)
pengertian Desain adalah suatu petunjuk yang memberi dasar, arah, tujuan dan
teknik yang ditempuh dalam memulai dan melaksanakan kegiatan. Fred Percival dan
Henry Ellington (1984), pada Hamalik mengemukakan bahwa desain kurikulum adalah
pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi
kurikulum.
Menurut Nana S. Sukmadinata)
desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau
komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi,
yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan
penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut
penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.
B. Prinsip-Prinsip
Desain Kurikulum
Saylor (Hamalik:2007) mengajukan
delapan prinsip ketika akan mendesain kurikulum, prinsip-prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong
seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi
pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.
2.
Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang
bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan–tujuan pendidikan, khususnya bagi
kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru;
3.
Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang
bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing,
dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah;
4.
Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan
pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa
5.
Desain harus mendorong guru mempertimbangkan
berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh diluar sekolah dan
mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah;
6.
Desain harus menyediakan pengalaman
belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan
dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya;
7.
Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa
mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang
menjiwai kultur; dan
8.
Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat
diterima.
C. Bentuk-Bentuk
Desain Kurikulum
1.
Subject Centered Design
Subject centered design
curriculum merupakan bentuk desain yang paling popular, paling tua dan paling
banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum di pusatkan pada isi
atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-mata
pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah.
Karena terpisah-pisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject
curriculum. Subject centered design berkembang dari konsep pendidikan klasik
yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan
berupaya untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan
isi atau bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini
disebut juga subject academic curriculum.
Model design curriculum ini
mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari model
desain kurikulum ini adalah:
a.
Mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan
disempurnakan,
b.
Para pengajarnya tidak perlu disiapkan khusus, asal
menguasai ilmu atau bahan yang diajarkan sering dipandang sudah dapat
menyampaikannya.
Beberapa kritik yang juga
merupakan kekurangan model desain ini, adalah:
- Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan,
- Karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif,
- Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan bermakna serta memberikan peran yang lebih aktif kepada siswa.
Ada tiga bentuk Subject centered
design yaitu:
a)
The Subject Design
The subject design curriculum
merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi
pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran.
Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi
mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan
retorika, sedangkan Quadrivium meliputi matematika, geometri, astronomi, dan
musik. Pada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi
pada pembentukan pribadi dan status social (Liberal Art). Pendidikan hanya
diperuntukkan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah berkerja
mencari nafkah.
Pada abad 19 pendidikan tidak
lagi diarahkan pada pendidikan umum (Liberal Art), tetapi pada pendidikan yang
lebih yang bersifst praktis. Berkenaan dengan mata pencaharian (pendidikan
vokasional). Pada saat itu mulai berkembang mata-mata pelajaran fisika, kimia,
biologi, bahasa yang masih bersifat teoretis, juga berkembang mata-mata
pelajaran praktis seperti pertanian ,ekonomi, tata buku, kesejahteraan
keluarga, keterampilan dan lain-lain. Isi pelajaran diambil dari pengetahuan,
dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya. Para siswa
dituntut untuk mengetahui semua pengetahuan yang diberikan, apakah mereka
menyenangi atau tidak, membutuhkannya atau tidak. Karena pelajaran-pelajaran
tersebut diberikannya secara terpisah-pisah, maka siswa mengetahuinya pun
terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya pada tahap
hafalan, bahan dikuasai secara verbalistis.
Lebih rinci kelemahan-kelemahan
bentuk kurikulum ini adalah:
1) Kurikulum memberikan pengetahuan
terpisah-pisah, satu terlepas dari yang lainnya.
2) Isi kurikulum diambil dari masa lalu,
terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat, yang sedang berlangsung saat
sekarang.
3) Kurikulum ini kurang memperhatikan
minat, kebutuhan dan pengalaman para perserta didik.
4) Isi kurikulum disusun berdasarkan
sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran di dalam mempelajari dan
menggunakannya.
5) Kurikulum lebih mengutamakan isi dan
kurang memperhatikan cara penyampain. Cara penyampaian utama adalah ekspositori
yang meyebabkan peranan siswa pasif.
Meskipun ada kelemahan-kelemahan
di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai beberapa kelebihan. Karena
kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih banyak dipakai.
1) Karena materi pelajaran diambil dari
ilmu yang sudah tersusun secara sitematis logis, maka penyusunannya cukup
mudah.
2) Bentuk ini sudah dikenal lama, baik
oleh guru-guru maupun orang tua, sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.
3) Bentuk ini memudahkan para perserta
didik untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, sebab pada perguruan
tinggi umumnya digunakan bentuk ini.
4) Bentuk ini dapat dilaksanakan secara
efisien, karena metode utamanya adalah metode ekspositori yang dikenal tingkat
efisiennya cukup tinggi.
5) Bentuk ini sangat ampuh sebagai alat
untuk melestarikan dan mewariskan warisan budaya masa lalu.
b)
The Disciplines Design
Bentuk ini merupakan pengembangan
dari subject design, keduanya masih menekankan kepada isi atau materi
kurikulum. Walaupun bertolak dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan. Pada Subject design belum ada kriteria yang tegas tentang apa yang
disebut subject (ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi
dengan teknik atau cara mengemudi, semuanya disebut subject. Pada disciplines
design criteria tersebut telah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan
itu ilmu atau subject dan bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh
keilmuan menentukan apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan.
Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah disiplin.
Isi kurikulum yang diberikan di
sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini sekolah adalah
mikrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah isi dari
kurikulum. Para pengembang kurikulum dari aliran ini berpegang teguh pada
disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan
sebagainya.
Perbedaan lain adalah dalam
tingkat penguasaan, disciplines design tidak seperti subject design yang
menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman
(understanding). Para peserta didik didorong untuk memahami logika atau
struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip
penting, juga didorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (modes of
inquiry and discovery). Hanya dengan menguasai hal-hal itu, kata mereka,
peserta didik akan memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai
fenomena baru.
Proses belajarnya tidak lagi
menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan peserta didik lebih banyak
pasif, tetapi mengunakan pendekatan inkuiri dan diskaveri. Disciplines design
sudah mengintegrasikan unsure-unsur progresifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject design. Pertama, kurikulum ini
bukan hanya memiliki organisasi yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat
memelihara integritas intelektual pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik
tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai
konsep, hubungan dan proses-proses intelektual yang berkembang pada siswa.
Meskipun telah menunjukkan
beberapa kelebihan bentuk, desain ini masih memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang terintegrasi. Kedua, belum
mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum
bertolak dari minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik. Keempat,
susunan kurikulum belum efesien baik untuk kegiatan belajar maupun untuk
penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas dibndingkan dengan subject
design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit.
c)
The Broad Fields Design
Baik subject design maupun
disciplines design masih menunjukkan adanya pemisahan antara mata pelajaran.
Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah mengembangkan
the board fields design. Dalam model ini mereka menyatukan beberapa mata
pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti
sejarah, geografi, dan ekonomi digabung menjadi ilmu pengetahuan social,
aljabar, ilmu ukur, dan berhitung menjadi matematika, dan sebagainya.
Tujuan pengembangan kurikulum
broad field adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia
informasi yang sifatnya spesialitis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh.
Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi
diperguruan tinggi sedikit sekali.
Ada dua kelebihan penggunaan
kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya bahan yang terpisah-pisah, walaupun
sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih memungkinkan penyusunan
warisan-warisan budaya secara sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan
beberapa mata kuliah memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara
berbagai hal.
Di samping kelebihan tersebut,
ada beberapa kelemahan model kurikulum ini. Pertama kemampuan guru, untuk
tingkat sekolah dasar guru mampu menguasi bidang yang luas, tetapi untuk
tingkat yang lebih tinggi, apalagi diperguruan tinggi sukar sekali. Kedua,
karena bidang yang dipelajari itu luas, maka tidak dapat diberikan secara
mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja. Ketiga, pengintegrasian bahan
ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan kenyataan, tidak memberikan
pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian kurang membangkitkan
minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan
subject design, tetapi model ini tetap menekankan tujuan penguasaan bahan dan
informasi. Kurang menekankan proses pencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan
kognitif tingkat tinggi.
2.
Learner-Centered Design
Sebagai reaksi sekalus
penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design berkembang
learner centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang
bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena
itu mereka mengutamakan peranan isi dari kurikulum.
Learner centered, memberi tempat
utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar
dan berkembang adalah perserta didik sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan
menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah
suatu organisme yang punya potensi untuk berbuat, berprilaku, belajar dan juga
berkembang sendiri. Learned centered design bersumber dari konsep Rousseau
tentang pendidikan alam, menekankan perkembangan peserta didik.
Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan dan tujuan peserta
didik.
Ada dua ciri utama yang
membedakan desain model learner centered dengan subject centered.
-
Learner centered design mengembangkan kurikulum
dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi.
-
learner centered bersifat not-preplanned (kurikulum
tidak diorganisasikan sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama antara guru
dengan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum
didasarkan atas masalah-masalah atau topik-topik yang menarik perhatian dan
dibutuhkan peserta didik dan sekuensnya disesuaikan tingkat perkembangan
mereka.
Ada beberapa variasi model ini
salah satunya yaitu the activity atau
experience design.
Model desain ini berawal pada
abad 18, atas hasil karya dari Rousseau dan Pestalozzi, yang berkembang pesat
pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan pendidikan progresif.
Berikut beberapa ciri utama
activity atau experience design.
Pertama, struktur kurikulum
ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam mengimplementasikan
ciri ini guru hendaknya:
1)
Menemukan minat dan kebutuhan peserta didik,
2)
Membantu para siswa memlih mana yang paling penting dan urgen. Hal ini cukup
sulit, sebab harus dapat dibedakan mana minat dan kebutuhan yang sesungguhnya
dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu guru harus menguasai benar
perkembangan dan karakteristik peserta didik.
Kedua,
struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan peserta didik, maka kurikulum
tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun bersama oleh guru dengan
para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber belajar,
kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan bersama siswa. Istilah yang
mereka gunakan adalah teacher –student planning.
Ketiga,
desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan masalah. Di dalam
proses menemukan minatnya perserta didik menghadapi hambatan atau
kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi. Kesulitan-kesulitan tersebut
menunjukkan problema nyata yang dihadapi perserta didik. Dalam menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan proses belajar yang
nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan kehidupannya. Berbeda
dengan subject design yang menekankan isi, activity design lebih mengutamakan
proses (keterampilan memecahkan masalah).
Ada
beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini, antara lain:
Pertama,
karena kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka
motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar.
Fakta-fakta, konsep, keterampilan dan proses pemecahan dipelajari peserta didik
karena hal itu mereka perlukan. Jadi belajar benar-benar relevan dan bermakna.
Kedua,
pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan
belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka melakukan
kegiatan individual.
Ketiga,
kegiatan-kegiatan pemecahan masalah memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan
untuk menghadapi kehidupan di luar sekolah.
Beberapa
kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model desain kurikulum
ini diantaranya:
1)
Penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik
belum tentu cocok dan memadai untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan.
Kehidupan dunia modern sangat kompleks, peserta didik belum tentu mampu melihat
dan merasakan kebutuhan-kebutuhan esensial.
2)
Kalau kurikulum hanya menekankan minat dan
kebutuhan peserta didik, dasar apa yang digunkan untuk menyusun struktur
kurikulum. Kurikulum tidak mempunyai pola dan struktur. Kedua kritik ini tidak
semuanya benar, sebab beberapa tokoh activity design telah mengembangkan
stuktur ini. Dewey dalam sekolah loboratoriumnya menyusun struktur disekitar
kebutuhan manusia, kebutuhan social, kebutuhan untuk membangun, kebutuhan untuk
meneliti dan bereksperimen dan kebutuhan untuk berekspresi dan keindahan.
3)
Activity design curriculum sangat lemah dalam
kontinuitas dan sekuens bahan. Dasar minat peserta didik tidak memberikan
landasan yang kuat untuk menyusun sekuens, sebab minat mudah sekali berubah
karena pengaruh perkembangan, kematangan dan factor-faktor lingkungan. Beberapa
usaha telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan ketiga ini:
- Usaha untuk menemukan sekuens perkembangan kemampuan mental peserta didik, seperti perkembangan kemampuan kognitif dari Piaget,
- Penelitian tentang pusat-pusat minat yang lebih terinci dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum.
- Kritik terhadap model desain kurikulum ini dikatakan tidak dapat dilakukan oleh guru biasa. Kurikulum ini menuntut guru ahli general education plus ahli psikologi perkembangan dan human relation. Model desain ini sulit menemukan buku-buku sumber, karena buku yang ada disusun berdasarkan subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah apabila peserta didik akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan tinggi digunakan model subject atau discipline design.
3.
Problem Centered
Design
Problem centered design
berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered).
Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik
secara individual, problem centered design menekankan manusia dalam kesatuan
kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat.
Konsep pendidikan para pengembang
model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk social
selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama ini manusia menghadapi
masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Mereka berinteraksi,
berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalh social yang mereka hadapi untuk
meneingkatkan kehidupan mereka.
Konsep-konsep ini menjadi
landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda dengan
learner centered, kurikulum mereka disusun sebelumnya (preplanned). Isi
kurikulum berupa masalah-masalah social yang dihadapi peserta didik sekarang
dan yang akan datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan
dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan pada isi maupun
perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model desain
kurikulum ini, yaitu The Areas Of Living Design, dan The Core Design.
a.
The Areas Of
Living Design
Perhatian terhadap bidang-bidang
kehidupan sebagai dasar penyusunan kurikulum telah dimulai oleh Hebert Spencer
pada abad 19, dalam tulisan yang berjudul What Knowledge is of most worth?
Areas of living design seperti learner centered design menekankan prosedur
belajar melalui pemecahan masalah. Dalam prosedur belajar ini tujuan yang
bersifat proses (process objectives) dan yang bersifat isi (content objectives)
diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi yang lebih bersifat pasif tetap
dirangsang. Ciri lain dari model desain ini adalah menggunakan pengalaman dan
situasi-situasi nyata dari perserta didik sebagai pembuka jalan dalam
mempelajari bidang-bidang kehidupan.
Strategi yang sama juga digunakan
dalam subject centered design, tetapi pelaksanaannya mengalami kesulitan, sebab
dalam desain tersebut hubungan mata pelajaran dengan bidang dan pengalaman
hidup peserta didik sangat kecil. Sebaliknya dalam the areas of living
hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman peserta didik sangat erat hubungannya
dengan bidang-bidang kehidupan sehingga dapat dikatakan suatu desain
merangkumkan pengalaman-pengalaman social peserta didik. Dengan demikian,
desain ini sekaligus menarik minat peserta didik dan mendekatkannya pada
pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
Desain ini mempunyai beberapa
kebaikan dibandingkan dengan bentuk desain-desain lainnya. Pertama, the areas
of living design merupakan the subject matter design tetapi dalam bentuk yang
terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh problem-problem
kehidupan social. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan disekitar
problem-problem peserta didik dalam kehidupan social, maka desain ini mendorong
penggunaan prosedur belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip belajar aktif
dapat diterapkan dalam model desain ini. Ketiga, menyajikan bahan ajar dalam
bentuk yang relevan, yaitu untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
Melalui kurikulum ini para peserta didik akan memperoleh pengetahuan, dan dapat
menginternalisasi artinya, keempat desain tersebut menyajikan bahan ajar dalam
bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada pemecahan masalah peserta didik,
secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan. Lebih dari itu kurikulum ini
membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat.
Kelima, motivasi belajar datang dari dalam diri peserta didik, tidak perlu
dirangsang dari luar.
Beberapa kritik dilontarkan dan
menunjukkan kelemahan model desain ini diantaranya:
- Penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang sangat esensial (penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang berbeda-beda.
- Sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau kurangnya integritas dan kontinuitas organisasi isi kurikulum.
- Desain tersebut sama sekali mengabaikan warisan budaya, padahal apa yang telah ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah masa kini.
- Karena kurikulum hanya memusatkan perhatian pada pemecahan masalah social pada saat sekarang, ada kecenderungan untuk mengindroktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta didik tidak melihat alternatif lain, baik yang mengenai masa lau maupun masa yang akan datang, desain tersebut akan mempertahankan status quo.
- Sama halnya dengan kritik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain tidak banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga dalam pelaksanaannya akan mengalami beberapa kesulitan.
b.
The Core Design
The core design kurikulum timbul
sebagai reaksi utama kepada separate subject design, yang sifatnya
terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-mata
pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core). Pelajaran lainnya
dikembangkan di sekitar core tersebut. Karena pengaruh pendidikan progresif,
berkembang teori tentang core design yang didasarkan atas pandangan progresif.
Menurut konsep ini inti-inti bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual
dan social.
Terdapat banyak variasi pandangan
tentang the core design. Mayoritas memandang core curriculum sebagai suatu
model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada
beberapa kurikulum yang berlaku di Indonesia dewasa ini, core curriculum
disebut kelompok mata kuliah atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada
pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi dan social. Kalau kelompok mata
kuliah/pelajaran spesialisasi diarahkan pada penguasaan keahlian/kejuruan
tertentu, maka kelompok mata pelajaran ini ditujukan pada pembentukan pribadi
yang sehat, baik, matang, dan warga masyarakat yang mampu membina kerja sama
yang baik pula.
The core curriculum diberikan
guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas, bukan spesialis. Di
samping memberikan pengetahuan, niali-nlai dan keterampilan social, guru-guru
tersebut juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan social pribadi peserta
didik.
Ada
beberapa variasi desain core curriculum yaitu:
1)
The separate subject core. Salah satu usaha untuk
mengatasi keterpisahan antar-mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang
dipandang mendasari atau menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core.
2)
The correlated core. Model desain ini pun
berkembang dari the separate subjects design, dengan jalan mengintegrasikan
beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya.
3)
The fused core. Kurikulum ini juga berpangkal dari
separate subject, pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran
tetapi lebih banyak. Sejarah, geografi, antropologi, sosiologi, ekonomi
dipadukan menjadi studi kemasyarakatan. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema
masalah umum yang dapat diinjau dari berbagai sudut pandang.
4)
The activity/experience core. Model desain ini
berkembang dari pendidikan progresif dengan learner centerd design-nya. Seperti
halnya pada learner centered, the activity/experience core dipusatkan pada
minat-minat dan kebutuhan peserta didik.
5)
The areas of living core. Desain model ini
berpangkal juga pada pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan
dirancang sebelumnya. Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari
masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bentuk desain ini dipandang sebagai
core design yang paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum.
6)
The social problems core. Model desain ini pun
merupakan produk dari pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama
dengan the areas of living core. Perbedaannya terletak pada the areas of licing
core didasarkan atas kegiatan-kegiatan manusia yang universal tetapi tidak
berisi hal yang controversial, sedangkan the social problems core di dasarkan
atas problema-problema yang mendasar dan bersifat controversial. Beberapa
contoh masalah social yang menjadi tema model core design ini adalah kemiskinan,
kelaparan, inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Hal-hal
di atas adalah sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu
controversial bersifat pro dan kontra. The areas of living core cenderung
memelihara dan mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core
mencoba memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai
social dan pribadi yang berbeda.
D. Desain Kurikulum Disiplin Ilmu
Longstreet (1993) menyatakan
bahwa kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang berorientasi atau berpusat
pada pengetahuan (the knowledge centered design), didesain berdasarkan struktur
ilmu, sehingga disebut juga sebagai kurikulum subjek akademik dengan penekanan
pada pengembangan intelektual anak didik. Para ahli berpandangan bahwa desain
ini berfungsi untuk mengembangkan proses kognitif atau kemampuan berpikir
melalui latihan menggunakan gagasan atau melakukan penelitian ilmiah (Mc. Neil,
1990).
Terdapat tiga bentuk organisasi
kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu yaitu :
1. Subject Centered Curriculum
Dalam organisasi ini, bahan atau
isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah dan tidak
saling berhubungan satu sama lain seperti mata pelajaran sejarah, fisika,
matematika, dll. Kurikulum ini disebut juga separated subject curriculum
2. Correlated Curriculum,
Pada Correlated Curriculum mata
pelajaran tidak disajikan secara terpisah, tetapi mata pelajaran-mata pelajaran
yang memiliki kedekatan atau yang sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu
bidang studi (broadfield), seperti fisika, biologi, dan kimia dikelompokkan
dalam bidang studi IPA
3. Integrated Curriculum
Pada organisasi yang menggunakan
model integrated, nama-nama mata pelajaran atau bidang studi sudah tidak
nampak. Belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan.
Maslah tersebut dinamakan unit. Belajar berdasarkan unit ini, bukan hanya
menghafal sejumlah fakta, tetapi juga mencari dan menganalisa fakta sebagai
bahan untuk memecahkan masalah. Belajar dengan model ini diharapkan dapat
mengembangkangkan seluruh aspek diri anak didik, seperti sikap, emosi atau
keterampilan, tidak hanya aspek intelektual mereka.
E. Desain Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
Desain ini didasarkan pada asumsi
bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, sehingga
kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam menentukan isi kurikulum.
Terdapat tiga perspektif desain
kurikulum berorientasi pada masyarakat yaitu :
1.
Perspektif status quo (the status quo perspective)
Rancangan ini diarahkan untuk
melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Dalam perspektif ini kurikulum
merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak
didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalm kehidupan
masyarakat. Yang dijadikan dasar adalah aspek-aspek penting kehidupan
masyarakat. Tokoh aliran ini adalah Franklin Bobbit.
2.
Perspektif reformis (reformist perspective)
Dalam perspektif ini kurikulum
dikembangkan untuk lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri.
Kurikulum ini menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses
pendidikan. Pendidikan berperan untuk merubah tatanan masyarakat. Baik
pendidikan formal maupun non formal harus mengabdikan diri demi tercapainya
orde sosial baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil
dan merata. Tokoh perspektif ini adalah Paulo Freire dan Ivan Illich.
3.
Perspektif masa depan (the futurist perspective)
Perspektif ini seirng dikaitkan
dengan kurikulum rekonstruksi sosial, yang menekankan pada proses mengembangkan
hubungan antara kurikulum dengan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
masyarakat. Model ini lebih mengutamakan kepentingan sosial dari pada kepentingan
individu. Setiap individu harus memahami masyarakat yang senantiasa mengalami
perubahan, untuk kemudian mengembangkan masyarakatnya sendiri. Tokoh perspektif
ini adalah Harold Rug.
F. Desain Kurikulum Berorientasi pada Siswa
Desain ini didasarkan pada asumsi
bahwa pendidikan adalah untuk membantu anak didik, sehingga tidak boleh
terlepas dari kehidupan anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada siswa
menekankan pada siswa sebagai sumber isi kurikulum, karena itu segala sesuatu
yang menjadi isi kurikulum tidak boleh lepas dari kehidupan anak didik.
Desain berorientasi pada anak
didik dapat dilihat minimal dalam dua perspektif yaitu :
1.
Perspektif kehidupan anak di masyarakat (the child
–in- society perspective)
Pada perspektif ini kurikulum
mengharapkan materi kurikulum yang dipelajari di sekolah serta pengalaman
belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai persiapan agar mereka
dapat hidup di masyarakat. Anak dituntut bukan mempelajari berbagai konsep yang
bersifat abstrak, melainkan teori atau konsep yang dihubungkan dengan kehidupan
nyata, sehingga apa yang dipelajari di sekolah relevan dengan kenyataan di
masyarakat. Tokoh perspektif ini adalah Francis Parker.
2.
Perspektif psikologis (the psychological curriculum
perspective).
Dalam perspektif psikologis desain kurikulum yang berorientasi pada
siswa, sering diartikan sebagai kurikulum yang bersifat humanistic, yang muncul
sebagai reaksi terhadap proses pendidikan yang hanya mengutamakan segi
intelektual. Karena itu dalam perspektif ini, tugas dan tanggung jawab
pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan segi intelektual anak didik
saja, tetapi harus mengembangkan seluruh pribadi anak didik sehingga dapat
membentuk manusia utuh. Kurikulum humanistic menekankan pada integrasi, yaitu
kesatuan pribadi secara utuh antara intelektual, emosional, dan tindakan.
Kriteria keberhasilan dalam perspektif ini adalah ditentukan oleh perkembangan
anak supaya menjadi manusia yang terbuka dan berdiri sendiri. Proses
pembelajaran yang baik adalah manakala memberikan kesempatan kepada anak didik
untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
G. Desain Kurikulum Teknologis
Model desain kurikulum teknologis
difokuskan pada efektifitas program, metode, dan bahan-bahan yang dianggap
dapat mencapai tujuan. Teknologi memengaruhi kurikulum dalam dua sisi, yaitu :
1.
sisi penerapan hasil-hasil teknologi yaitu
perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan
pembelajaran. Penggunaan alat-alat tersebut adalah untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi pembelajaran. Dengan penerapan hasil-hasil teknologi sebagai
alat, diharapkan pembelajaran akan lebih efektif dan efisien.
2.
penerapan teknologi sebagai suatu sistem, yaitu
menekankan pada penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
system yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku
yang harus dicapai. Proses pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu. Keberhasilan pendidikan diukur dari sejauh mana iswa dapat menguasai
atau mencapai tujuan khusus tersebut. Pada sisi kedua ini penerapan teknologi
bukan mengenai alat tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan
pendekatan sistem.
Mc Neil (1990) menyatakan bahwa
tujuan kurikulum teknologi ditekankan kepada pencapaian perubahan tingkah laku
yang dapat diukur, karena itu tujuan umum dijabarkan pada tujuan-tujuan yang
khusus. Tujuan lebih banyak ditentuakan dari setiap mata pelajaran, dan jarang
dari tujuan kemasyarakatan. Semua siswa diharapkan tuntas dalam menguasai
tujuan pengajaran.
Kurikulum teknologis memiliki
ciri-ciri :
1.
pergorganisasian materi kurikulum berpatokan pada
rumusan tujuan
2.
materi kurikulum disusun secara berjenjang
3.
materi kurikulum disusun dari mulai yang sederhana
menuju yang kompleks.
Keberhasilan
kurikulum teknologi memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.
kesadaran akan tujuan yaitu anak didik perlu
memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan
2.
dalam pembelajaran anak didik diberi kesempatan
memraktekkan kecakapan sesuai dengan tujuan
3.
siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai,
karena itu siswa perlu menyadari apakah pembelajaran sudah dianggap cukup atau
masih perlu bantuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyusunan desain kurikulum dapat
dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi
horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan
dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat
kesukaran
Berdasarkan dengan apa yang
menjadi fokus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola desain
kurikulum, yaitu:
1)
Subject contered design, suatu desain kurikulum
yang berpusat pada bahan ajar.
2)
Learner centered design, suatu desain kurikulum
yang mengutamakan peranan siswa.
3)
Problems centered design, desain kurikulum yang
berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
B. Saran
Lembaga pendidikan cenderung
lebih formalistik, lebih mementingkan transformasi pengetahuan dan kurang
memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Dan keadaan ini tambah parah
dengan bergulirnya otonomi daerah, ditandai ketidaksiapan pemerintah dan
masyarakat, baik secara kuantitas yaitu sarana dan prasarana serta dana yang
tersedia dan secara kualitas, yaitu penanaman sistem pendidikan yang lebih
akomodatif dan sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Dengan kerangka pemikiran
tersebut, maka perlu diperhatikan yaitu ketika ide-ide pengembangan kurikulum
terlembagakan dalam sebuah dokumen kurikulum yang pada akhirnya harus
diimplementasikan, maka guru disini akan menjadi ujung tombak keberhasilan
implementasi kurikulum. Oleh karena itu perhatian hendaknya diletakkan pada
desain kurikulum dalam proses pembelajaran, adalah satu hal yang perlu
ditanggapi secara serius.
DAFTAR
PUSTAKA
Beane
A. James (1997), Curriculum Integration: Designing The Core of Democratic
Eduction, Teachers College Press, Columbia University
Hamalik
Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, PT. Remaja Rosda Makalah, Bandung,
2006
Nana
Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek). Cet.11,
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2009
Terima kasih
BalasHapuskereen kak
BalasHapus